Jejak Senja di Hutan Mangrove: Catatan Perjalanan yang Tak Terduga

Jejak Senja di Hutan Mangrove: Catatan Perjalanan yang Tak Terduga

Siapa sangka hutan mangrove bisa jadi lokasi drama kecil yang manis? Aku nyaris melewatkan ide datang ke sini karena rencana awal adalah pantai, tapi cuaca bilang “nanti dulu” dan aku pun menoleh ke peta—dengan pedenya memilih spot yang namanya nggak pernah aku dengar. Ternyata, keputusan impulsif itu menghadiahkan senja yang tak akan cepat aku lupain.

Melempar Sepatu, Bukan Harga Diri

Pas pertama datang, aku disambut jalan setapak kayu yang agak reyot—pas banget sama moodku yang lagi butuh lepas dari hingar-bingar kota. Ada momen di mana aku memutuskan melepas sepatu, karena katanya harus merasakan lumpur. Jadilah aku berjalan kaki telanjang, berasa kayak karakter film indie. Lumut nempel dikit? Santai. Chicken-skin because of the breeze? Yes. Rasanya lucu banget, seperti kembali ke masa kecil dimana hal sepele bisa jadi petualangan besar.

Ceritanya makin hidup pas seorang guide lokal nyengir sambil nunjukin jejak kepiting. Kita sempat bercanda soal siapa yang lebih jago bersembunyi: aku atau kepiting. Jawabannya jelas kepiting. Mereka pinter, licik, dan imut—kombinasi yang bikin aku terhibur sepanjang jalan masuk ke area mangrove yang lebih lebat.

Cerita Bau Lumpur dan Percakapan dengan Kepiting

Mangrove itu aromanya khas: campuran tanah basah, kayu, dan laut—ada sensasi nostalgia yang nggak bisa dijelasin. Waktu matahari mulai miring, bayangan akar-akar bakau memanjang dan membentuk lorong-lorong yang kayak pintu ke dunia lain. Aku duduk di tepi, ngobrol sama diri sendiri, dan entah kenapa merasa lebih jujur dari biasanya. Pun, suara kepiting dan burung jadi latar musik yang asik.

Di titik ini aku sempat buka ponsel, ngulik referensi soal mangrove biar nggak cuma jadi turis yang selfie doang. Ketemulah artikel-artikel keren soal konservasi dan pentingnya ekosistem ini—sampe akhirnya aku save satu blog perjalanan yang fokus ke alam, wanderingscapes, buat bacaan nanti di hostel. Jadi, selain bawa kamera, bawa juga rasa ingin tahu biar perjalanan punya bobot, bukan cuma koleksi foto estetik.

Senja yang Suka Ngedramain

Magnetic moment: saat matahari benar-benar turun. Warnanya gak sekadar oranye—ada gradasi pink, ungu, dan sedikit emas yang bikin silhouette pohon bakau terlihat seperti lukisan. Aku tarik napas panjang, dan tiba-tiba jadi puitis (hal yang jarang kejadian kalau lagi sendirian, FYI). Ada pasangan muda yang berbisik manis, ada satu bapak nelayan yang nampak santai sambil memperhatikan jala—semua berkumpul tanpa benar-benar berkumpul, menyaksikan pertunjukan senja yang nggak minta tiket.

Tepat di momen itu aku sadar kalau perjalanan terbaik seringkali adalah yang nggak terencana. Sesuatu yang aku kira cuma “ngepasin waktu libur” berubah jadi pengalaman yang memaksa aku melambat, melihat detil, dan kacau-cinta pada keindahan sederhana. Lagian, kapan lagi bisa duduk di tengah hutan bakau sambil makan cemilan yang rasanya 10x lebih manis gara-gara udara laut?

Rencana Pulang? Nanti Dulu

Pulang tentu harus ya, tapi aku paksa jeda lagi—mau nunggu bintang muncul. Sambil nunggu, aku catet hal-hal kecil: suara jamur yang aku kira berbisik, cara akar mangrove memeluk tanah, dan bagaimana cahaya sisa senja menempel di kulit. Ada kepuasan kecil melihat jejak kakiku di lumpur, tahu bahwa aku pernah benar-benar ada dan menyentuh tempat itu, bukan cuma lewat story Instagram.

Akhirnya malam datang, dan entah kenapa pulang rasanya nggak sedramatis pas berangkat. Mungkin karena tiap perjalanan membawa pulang sesuatu yang berbeda: pengalaman, cerita, dan satu dua kebiasaan baru—misal bawa sepatu cadangan yang tahan lumpur. Di bus pulang aku tidur pulas, bermimpi tentang mangrove yang berbisik “datang lagi, ya”. Dan aku yakin, akan datang lagi.

Jejak senja itu mungkin samar di foto, tapi jelas total di memori. Kalau kamu kebetulan lagi baca ini dan lagi ragu buat ambil rute yang nggak biasa, coba deh. Kadang hal terbaik dalam hidup muncul dari keputusan impulsif dan sedikit keberanian buat ngelepas sepatu—secara literal ataupun kiasan.