Ada hujan yang bikin bingung — turun tiba-tiba, lalu berhenti seperti enggan mengganggu rencana. Lalu ada hujan yang datang seperti sahabat lama, lama, dan tahu persis cerita mana yang harus diulang. Kali ini saya kebagian yang kedua: hujan di bukit terpencil yang membuat langkah saya melambat dan pikiran saya mengawang. Ceritanya sederhana, tapi tetap saja bikin rindu setiap kali saya mengingat aroma tanah basah dan bunyi daun yang digesek rintik-rintik.
Mosong? Enggak. Informasi singkat sebelum naik
Sebelum naik bukit itu, saya sempat membuka peta kasar di kepala: jalan setapak, beberapa warung kecil di kaki bukit, dan kabut yang suka muncul setelah jam dua siang. Perlengkapan? Jas hujan tipis, sepatu yang masih mending, dan kantong plastik untuk melindungi kamera tua saya. Intinya: jangan sok minimalis kalau sedang berduet dengan awan. Kalau mau baca inspirasi rute yang lebih lucu-lucuan dan fotogenik, pernah nemu referensi menarik di wanderingscapes, cocok buat yang suka eksplor santai.
Perjalanan dimulai dengan santai. Jalanan tanah, sesekali batu yang menantang, dan beberapa anak kampung yang menoleh. Mereka bilang, “Hati-hati, nak, kalau hujan turun, jalannya licin.” Saya cuma melempar senyum macam orang paham medan, padahal dalam hati ada doa kecil supaya sepatu gak selip dramatik.
Ngobrol Sama Hujan (gaya ringan, penuh colek)
Saya suka bicara pada hujan. Iya, terkesan aneh, tapi coba deh. “Lama ya datangnya,” saya bilang. Hujan membalas dengan nada rintik. Obrolan kami singkat. Dia cerita tentang awan yang segar dari laut, saya cerita bahwa saya bawa roti bekal yang salah simpan—jadi lembek. Humor sederhana. Kadang saja dunia butuh dialog tanpa judgement.
Sambil menyesap kopi sachet yang saya seduh di warung tengah perjalanan — ya, sachet, bukan kopi kekinian — pemandangan berubah. Kabut turun seperti tirai tipis. Langkah kaki jadi lambat. Semua serasa pakai mode ‘slow-mo’ alami. Ada kepuasan kecil ketika celah antara satu batu dan batu lain ditembus dengan hati-hati. Seperti menang level dalam permainan yang gratis tapi penuh keseimbangan.
Berkas Hujan dan Jaket Basah: Catatan Nyeleneh
Di satu titik, jaket saya menangkap lebih banyak hujan daripada rencana saya. Jadinya berat. Saya tertawa sendiri. “Jaketmu ikut hiking juga, ya?” kata seorang pendaki yang kebetulan lewat. Kami bertukar cerita singkat: dia lewat pagi, saya lewat siang, hujan yang sama tapi mood berbeda. Entah kenapa, momen-momen kecil ini yang bikin perjalanan terasa punya suara sendiri — suara yang terkadang sedikit nyeleneh, penuh kejutan, dan lucu kalau diingat lagi.
Ada kalanya udara membisik sesuatu yang nggak jelas. Bisa jadi ide buat cerita, bisa jadi lagu baru di kepala yang nggak ada iramanya. Saya menuliskan beberapa baris di buku kecil saya — bukan untuk jadi puisi, cuma biar tangan nggak pegal. Tulisan tangan waktu hujan itu jadi berantakan manis. Mirip kenangan yang nggak rapih tapi hangat.
Kembali turun dari bukit, jejak kaki saya sudah berlumpur. Jejak kecil saja. Tapi setiap jejak bercerita: tentang rute yang saya ambil, tentang berhenti di bawah pohon untuk mengikat tali sepatu, tentang tawa singkat dengan pelancong lain. Jejak kecil itu yang membuat rindu. Bukan cuma rindu tempat, tapi rindu waktu ketika kita sengaja memperlambat langkah dan memperpanjang momen.
Pulang dengan baju lumayan basah dan hati yang kenyang. Ada rasa senang karena pengalaman sederhana itu memberi lebih banyak daripada ekspektasi. Kadang memang perjalanan ideal bukan soal puncak yang berhasil ditaklukkan, tapi tentang momen-momen kecil yang menempel di memori: kopi sachet di tengah hujan, sapaan penduduk, jaket yang jadi beban lucu.
Jadi, kalau kamu punya waktu dan keinginan untuk melambat: pilih bukit terpencil, bawa jaket, bawa rasa ingin tahu. Biarkan hujan menulis jejak kecilnya pada sepatu dan cerita kamu. Nanti, ketika rindu datang, kamu punya bahan obrolan yang hangat sambil minum kopi—lagi. Sama seperti saya sekarang: menulis sambil menyesap, tersenyum, dan ngeh, ternyata rindu itu sederhana.