Menyusuri Sungai Kabut di Pegunungan: Cerita Perjalanan Lepas
Beberapa perjalanan terasa seperti melenceng dari rencana hidup—dan inilah salah satunya. Aku tidak berniat lama di rumah saat akhir pekan itu; cuma ingin keluar, menghirup udara yang bukan AC, dan melihat sesuatu yang belum pernah kulihat di foto. Akhirnya aku memilih sebuah jalur kecil di pegunungan, terkenal karena kabutnya yang turun seperti tirai tipis di atas sungai. Cerita ini adalah catatan perasaan, bukan panduan lengkap. Baca saja seperti obrolan sambil menyeruput kopi di teras.
Mengapa aku memilih Sungai Kabut?
Jawabannya sederhana: rindu. Rindu pada hal-hal yang bergerak pelan, pada suara air yang tak tergesa. Rasa ingin tahu juga besar. Foto-foto di feed sering menipu; kabut bisa tampak sempurna, seperti adegan film. Kenyataannya? Kabut itu hidup. Ia datang, menghilang, memberi ruang, lalu menutup lagi. Ada ketidakteraturan yang menenangkan. Keheningan di sana bukan karena sepi saja. Ia adalah semacam undangan—untuk berjalan tanpa peta mental, untuk tersesat sebentar tanpa panik.
Aku berangkat sendirian dengan ransel mini: jaket, makanan ringan, kamera, dan jurnal kecil. Hal sederhana seperti ini membuatmu merasa ringan. Jalan menuju sungai lebih berat dari yang kubayangkan; banyak bebatuan licin dan akar pohon yang seperti jebakan. Tapi aku menikmati setiap langkah. Napas terasa lebih dalam di ketinggian. Sesekali aku berhenti, membiarkan kabut menyentuh wajah seperti sapuan tangan lembut.
Bagaimana perjalanan dimulai?
Pagi itu kabut tipis menyelimuti desa. Aku berangkat dari rumah jam lima. Senja sudah lama pergi; hanya ada warna biru pucat yang perlahan pudar. Di desa, aku bertanya pada seorang ibu yang sedang menanak nasi, “Jalan ke sungai kabut lewat mana?” Ia menunjuk ke arah jalan setapak yang hanya muat dua orang berjalan berdampingan. “Ikuti saja suara air,” katanya sambil tersenyum. Saran sederhana, tapi efektif.
Jalan setapak membawa aku menurun, lalu mendaki lagi, melewati pekarangan yang dijaga anjing-anjing yang ramah. Suara air semakin jelas. Saat memasuki area hutan, udara berubah. Ada bau tanah basah, lumut, dan daun tua. Aku melepas jaket sejenak meski dingin. Perjalanan ini mengajarkanku bahwa kenyamanan itu relatif; yang penting memilih untuk terus melangkah.
Apa yang kulihat dan rasakan di tepi sungai?
Sungai itu berbeda dari ekspektasiku. Lebih liar, lebih beraturan dalam caranya sendiri. Airnya jernih, bergerak cepat di antara batu-batu besar yang diselimuti lumut. Kabut turun seperti selimut, membuat lanskap terasa dua dimensi: dekat dan jauh melebur jadi satu. Kadang aku merasa berada di antara dua dunia. Di satu sisi ada suara nyata: gemericik air, kicau burung, ranting yang patah. Di sisi lain ada bisik-bisik kabut, cara alam menyamarkan tepi-tepinya.
Aku duduk di batu besar, menutup mata, mendengarkan. Pikiran yang biasanya riuh tentang deadline, pesan yang belum dibalas, dan daftar belanja, perlahan mengendur. Satu hal kecil: secangkir teh hangat dari termos terasa seperti hadiah dunia. Kamera kerap kubawa, tapi lebih sering aku biarkan di samping, mengambil foto sesekali saja. Hidup terasa lebih penuh saat tidak selalu terabadikan dalam layar.
Apa yang kubawa pulang selain foto?
Pulangnya, aku membawa lebih dari memori visual. Aku membawa rasa bahwa kelonggaran itu penting. Perjalanan singkat seperti ini mengingatkanku untuk memberi ruang pada ketidaktahuan—membiarkan jalur menuntun tanpa rencana sempurna. Aku juga membawa beberapa pelajaran praktis: bawalah lapisan pakaian, sepatu dengan sol yang baik, dan selalu beri tahu seseorang tentang rencana lari singkatmu. Dan kalau kamu butuh inspirasi tempat atau cerita perjalanan lain, aku pernah menuliskan beberapa pengalaman serupa di wanderingscapes, tempat aku mengumpulkan rute-rute kecil yang mungkin belum ramai.
Perjalanan lepas ke sungai kabut itu bukan soal menaklukkan alam. Ia soal belajar menerima. Menerima kabut yang menutup pandangan, menerima langkah yang tersendat, menerima bahwa kadang kita perlu berhenti dan mengizinkan dunia untuk menyusup masuk. Saat malam tiba, aku kembali ke kotaku dengan sepatu basah, rambut agak acak, dan kepala lebih ringan. Itu cukup. Itu lebih dari cukup.