Menyusuri Jejak Sunyi Hutan Pinus: Catatan Perjalanan yang Menenangkan

Pagi itu aku bangun lebih awal dari alarm. Bukan karena niat mulia, tapi karena kepo—ingin tahu apakah hutan pinus di pinggiran kota itu benar-benar sepi seperti yang sering aku bayangkan. Kopi digenggam, jaket tipis, dan sepatu yang sudah setia menemani perjalanan. Kita jalan pelan saja. Santai. Ini bukan lomba lari atau Instagram competition. Hanya jalan kaki, napas panjang, dan mendengar apa yang tak biasanya kudengar di kota.

Kenangan bau resin dan suara jarum pinus (informatif)

Kalau mau ke hutan pinus, timing itu penting. Pagi sebelum matahari terlalu tinggi adalah waktu terbaik: kabut tipis sering menggantung, cahaya tembus lewat celah-celah ranting seperti lampu sorot alam. Bawa air minum yang cukup. Sepatu jangan yang licin. Jaket tipis untuk dingin pagi. Oh iya, bawa kantong sampah kecil untuk sampahmu sendiri—kita jaga jejak, biar hutan tetap sunyi dengan alasan yang baik.

Jalur biasanya jelas walaupun berbatu. Kalau ragu, ikuti tanda atau tanya penduduk lokal. Jaga jarak dengan satwa liar. Mereka sedang bekerja. Kamu juga liburan.

Ceritanya ringan: aku, sebungkus roti, dan seekor tupai yang sombong (ringan)

Ada momen lucu saat aku duduk di sebuah batu, membuka bungkus roti, lalu tiba-tiba merasa sedang diawasi. Mata kecil menatap. Seekor tupai, tampak seperti model fashion dengan ekor bervolume. Aku menolak memberi roti. Sombongnya, dibalas dengan suara gereja—eh, suara dahan yang patah. Tupai pergi sambil menatap sinis, seolah berkata, “Kalau mau makan, harus traktir.” Aku tertawa sendiri. Alam itu punya selera humor halus.

Sambil melangkah lagi, aku melihat pasangan muda berfoto pakai properti minimalis: topi lucu. Mereka tersenyum kecut ketika aku bilang, “Jangan lupa, topi itu juga butuh liburan.” Mereka ketawa. Garing? Mungkin. Menyenangkan? Pasti.

Ngawur tapi bermakna: berdialog dengan pohon—jangan panik (nyeleneh)

Pernahkah kamu berdialog dengan pohon? Kalau belum, coba sekali. Bisik saja, “Hai pohon, kamu kuat ya?” Pohon tidak akan membalas dengan kata-kata, tapi ada rasa. Tenang. Kalau pohon bisa curhat, mungkin ia akan bilang, “Tolong jangan ikatkan gorden di dahanku.” Atau, “Bawa pulang sampahmu.” Aku bercanda, tapi sering aku merasa pohon itu bijak. Mereka diam. Diam itu guru juga.

Ada kalanya aku sengaja duduk menatap tanah yang penuh jarum pinus, lalu menutup mata. Nada hutan seperti musik ambient tanpa speaker. Sesekali angin meniup, dan seluruh orkestra – daun, ranting, bayangan – mengikuti irama. Tenang sekali. Rasanya semua percakapan yang menunggu di kepala perlahan antri.

Perjalanan singkat ini tak butuh itinerary ribuan poin. Kadang rute paling berkesan adalah yang tak direncanakan. Aku tersesat kecil, menemukan lapangan tersembunyi dengan bunga liar, dan memutuskan istirahat. Tidur sebentar di bawah pohon? Kenapa tidak. Nyaman. Tiba-tiba lupa waktu. Ponsel? Ada, tapi mode senyap dan tebal dengan debu pinus.

Pulang dengan tas yang lebih ringan—bukan soal barang, melainkan beban

Kembali ke mobil, aku menyadari hal kecil: hutan membuat segala sesuatu terasa sederhana. Masalah kerja yang semalam membuatku pusing, kini tampak seperti catatan kecil yang bisa kuhapus satu per satu. Alam punya cara merapikan itu semua. Bukan dengan mengklaim solusi, tapi memberi ruang bernapas. Itu saja sudah cukup.

Kalau kamu lagi butuh “mati-matian” istirahat tapi tidak mau jauh-jauh, carilah hutan pinus terdekat. Jalan kaki sebentar. Duduk. Bernapas. Kalau butuh referensi rute yang enak dibaca sebelum berangkat, aku sering mampir ke situs kecil yang penuh cerita perjalanan. Seperti yang pernah kutemukan di wanderingscapes, buat nambah inspirasi tanpa pusing.

Pulang dari hutan pinus selalu membawa satu perasaan: ringan. Entah kenapa, jarum-jarum pinus itu seperti menyapu kepalaku dari segala kepenatan. Sampai ketemu lagi, hutan. Kita ngopi lagi kapan-kapan—bawa roti sendiri ya, jangan kasih ke tupai, nanti sombong lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *