Mengejar Kabut di Lembah: Catatan Perjalanan yang Bikin Rindu
Ada pengalaman yang tidak langsung ingin diceritakan karena takut kehilangan rasa ketika harus merangkainya jadi kata-kata. Tapi pagi itu di lembah, ketika kabut bergerak pelan seperti tirai yang ditarik lalu disibakkan angin, saya tahu saya harus menulisnya. Bukan untuk sombong, tapi supaya nanti ketika rindu datang, saya bisa membuka halaman ini dan kembali menghirup udara basah yang masih menempel di rambut.
Mengapa Kabut Bisa Begitu Memikat
Kalau ditanya kenapa orang mengejar kabut, jawabannya sederhana dan rumit sekaligus. Sederhana karena bagi sebagian kita kabut itu estetik: lembaran putih yang meratakan tepi-tepi dunia, membuat segala hal terlihat lebih bersih dan misterius. Rumit karena ada perasaan rindu yang tak jelas asalnya—rindu pada masa kecil, rindu pada pelan, rindu pada sesuatu yang belum sempat diucapkan. Waktu itu saya membaca artikel tentang fenomena kabut dan lembah di sebuah blog perjalanan, wanderingscapes, yang membuat saya semakin ingin mengejar pagi-pagi buta tanpa banyak rencana.
Pagi di lembah itu dingin, tapi bukan dingin yang membuat kaku. Dingin yang membuat tangan saya sibuk mencari saku jaket, memegang gelas kopi panas, dan kemudian melepasnya karena pemandangan di depan lebih menarik. Ada bunyi-suara kecil: suara air mengalir jauh, suara burung yang sepertinya masih mengatur jam biologisnya, dan suara langkah kami yang kadang serempak, kadang sendiri-sendiri. Detail kecil: ada bau jerami basah yang mengingatkan saya pada rumah nenek. Hal semacam itu selalu membuat perjalanan terasa seperti pulang, meski tempatnya asing.
Dulu Aku Salah Perkiraan (ternyata bukan cuma soal cuaca)
Kami tiba setengah tidur, kedinginan, dan agak telat. Saya salah perhitungan waktu—mikirnya kabut datang tepat jam 6, ternyata jam 5 itu yang penting. Lucu memang, karena di gunung segala hal punya waktunya sendiri. Saya sempat mengomel, menyalahkan jam weker, menyalahkan diri sendiri yang terlalu asik menunda-nunda packing. Tapi kesalahan itu memberi cerita: kami tersesat di antara jalan setapak yang licin, sepatu saya penuh lumpur yang lengket, dan tawa kami jadi lebih lepas karena harus menarik satu sama lain di tanjakan.
Di tengah semua itu, ada satu warung kopi kecil yang entah dari mana muncul, menyediakan kopi pahit yang sempurna. Pemiliknya—seorang ibu dengan senyum hangat—mengeluh tentang cuaca, lalu menyeruput kopi sambil bercerita tentang tanaman lada yang mulai berbuah. Saya menyimak sambil merasakan kenyamanan sederhana: kopi panas, kursi kayu yang gak rata, dan obrolan yang bukan tentang keuntungan atau rencana besar, tapi tentang musim dan anak-anak yang sibuk sekolah.
Lembah yang Mengajari Cara Melambat
Di lembah itu, tempo hidup turun. Dalam artian yang baik. Kita sering terburu-buru, mengejar daftar, lupa mendengarkan hal-hal kecil. Kabut memaksa saya untuk pelan. Ketika jarak pandang hanya beberapa meter, saya belajar memperhatikan suara langkah sendiri, warna sepatu, dan napas teman di sebelah. Pelan bukan berarti hambat, tapi memberikan ruang untuk melihat detail yang biasanya terlewat. Ada sebuah pohon tua yang saya abadikan hanya dengan mata, bukan kamera. Nanti saya baru tahu foto yang diambil teman ternyata jauh lebih bagus, tapi saya tidak menyesal kehilangan foto—karena saya punya memori yang tidak bisa di-zoom atau di-fokuskan oleh lensa manapun.
Setiap kali kabut menipis, lembah menampakkan wajahnya perlahan: aliran sungai berkilau, padang yang bergelombang, dan rumah-rumah mungil dengan asap tipis dari cerobong. Itu momen ketika saya merasa seperti penonton teater yang mendapatkan adegan paling hening, bagian yang membuat semua aksi sebelumnya bermakna.
Beberapa Catatan buat yang Mau Ikut Mengejar
Kalau kamu mau (silakan), bawa jaket yang tebal tapi ringan, sepatu yang tahan licin, dan termos kecil untuk kopi. Datang lebih awal memang kerja keras, tapi seringkali itu hadiah terbesarnya: kesempatan melihat dunia setengah terungkap. Jangan lupa juga, kadang rencana paling rapi akan kacau—dan itu oke. Jalan pelan, simpan beberapa momen dalam ingatan langsung, dan biarkan kabut melakukan sisanya. Siapa tahu, seperti saya, kamu pulang membawa rindu yang manis dan cerita untuk diceritakan kembali pada kawan-kawan di warung kopi.
Perjalanan itu bukan sekadar pindah dari A ke B. Ia tentang kembali membawa sesuatu yang membuatmu sedikit lebih penuh. Kabut mungkin pergi saat matahari meninggi, tapi bekasnya—aroma tanah, tawa teman, dan rasa tenang—bertahan lama. Dan setiap kali rindu datang, saya tahu kemana harus pergi lagi di dalam kepala: ke lembah yang pagi itu memberi saya pelajaran sederhana tentang sabar dan bahagia.