Jejak Lumpur dan Sunset: Cerita Perjalanan ke Hutan Pantai Tersembunyi

Jejak Lumpur dan Sunset: Cerita Perjalanan ke Hutan Pantai Tersembunyi

Beberapa perjalanan terasa seperti jawaban untuk kerinduan yang belum sempat kuketahui. Hutan pantai yang kusebut “tersembunyi” itu bukan karena tidak ada di peta, melainkan karena jalannya seperti sengaja diuji—berliku, basah, dan sering kali lengket oleh lumpur. Aku datang dengan ransel ringan, sepatu yang sudah akrab dengan lumpur, dan rasa penasaran lebih besar dari peta yang kubawa. Di sana, setiap langkah menulis cerita kecil yang kusimpan untuk malam-malam sunyi di kota.

Mencari Jalan — Persiapan dan Harapan

Sebelum berangkat, aku membaca banyak catatan perjalanan. Salah satu referensi rute yang kubaca sebelum berangkat ada di wanderingscapes, tulisan itu membantu banget untuk tahu titik-titik penyelamatan sinyal dan tempat air bersih. Persiapan praktisnya sederhana: sepatu yang bisa dicuci, kantong plastik untuk barang basah, dan jaket tipis karena angin di pantai bisa berubah jadi dingin tiba-tiba. Harapanku? Menemukan sudut sepi untuk duduk, melihat laut, dan mendengar hutan bernapas. Tidak minta banyak. Hanya senja yang baik dan jejak yang jelas untuk pulang.

Ngobrol Santai di Tengah Lumpur

Perjalanan itu penuh tawa. Ada momen ketika sepatuku benar-benar hilang dalam lumpur—bukan hilang secara mistis, tapi tersapu rapi oleh tanah yang lengket. Guide lokal cuma ngeloyor sambil bilang, “Santai, itu tanda bumi lagi sayang kamu.” Kami tertawa, lalu dia menyeret sepatuku keluar seperti menyelamatkan kucing kesayangan. Kita ngobrol banyak hal; tentang pohon-pohon pantai yang beranak akar, tentang nelayan yang dulu menyimpan cerita di kaleng rokok, tentang kopi hitam yang selalu lebih enak setelah kedinginan. Percayalah, ngobrol di tengah lumpur dengan orang yang baru kenal bisa terasa lebih akrab daripada rapat formal di kota.

Senja yang Bikin Hati Lembek

Dan kemudian, senja. Tidak ada foto yang bisa benar-benar menangkap momen ketika langit menumpahkan warna dan laut mencerminkan semua itu seperti kaca besar. Kami duduk di papan kayu miring, agak jauh dari garis pantai karena waktu pasang. Ombak menepuk pelan, ada rasa asin yang menempel pada bibir. Ada anak-anak yang berlarian mengejar kepiting. Ada suara burung yang seperti memberi score. Aku menjerit kecil ketika matahari hampir saja hilang, entah karena aku takut kehilangan momen itu atau karena perasaan yang tak bisa kujelaskan ikut tenggelam bersama matahari. Momen itu buatku sederhana: langit, tubuh lelah, dan ketenangan yang membuat otak rehat.

Catatan Kecil dan Rekomendasi

Aku pulang dengan jejak lumpur di sepatu—meskipun banyak yang hilang karena dicuci—dan beberapa foto yang kusimpan bukan untuk dipamerkan, melainkan sebagai pengingat. Kalau kamu pergi ke hutan pantai tersembunyi seperti ini, beberapa hal yang ingin kubilang: hormati jalur, bawa kantong sampah kecil untuk semua sampahmu, jangan menyalakan api sembarangan, dan bawa kamera saku yang baik. Jangan lupakan juga tenaga ekstra untuk jalan pulang; lumpur memang pelan, tapi bikin perjalanan pulang terasa jauh. Oh ya, bicaralah dengan penduduk lokal—mereka biasanya punya cerita terbaik. Mereka juga sering tahu di mana sunset paling dramatik tanpa harus menginjak jalur yang dilindungi.

Ada hal sederhana yang kutemukan: perjalanan semacam ini mengajari kita untuk menikmati jeda. Bukan jeda besar yang spektakuler, tapi jeda kecil—berhenti karena sepatu terjebak, menunggu matahari, membiarkan angin meniup rambut. Pulangnya, aku membawa lebih dari foto. Aku membawa rasa bersyukur yang susah dijelaskan. Semoga tulisan ini mengundangmu pergi, tidak hanya untuk melihat, tapi juga untuk meresapi—jejak lumpur, tawa di tengah rintik, dan senja yang penuh kata.

Leave a Reply