Cerita Malam Hujan di Yogyakarta yang Bikin Kangen
Malam itu selesai jam kerja lapak batik kecil di Prawirotaman — sekitar pukul 21.30. Saya ingat langkah saya pelan, udara lembap, dan petak jalan yang biasanya riuh menjadi samar di bawah lampu jalan berembun. Hujan mulai turun saat saya berdiri di depan warung kopi kecil, menimbang apakah kembali ke homestay atau bertahan sambil menunggu reda. Keputusan kecil itu akhirnya menulis satu malam yang sampai sekarang masih membuat rindu.
Malam Pertama: Hujan Datang Mendadak
Saat tetes pertama menyentuh bahu, ada rasa mengejutkan yang hangat — bukan karena dingin, tapi karena mendadak semua terasa hidup. Tukang bakso menutup gerobak, tetapi beberapa pelanggan tetap duduk di bawah tenda plastik, tertawa, dan berbagi payung. Saya menunggu di bawah atap warung, menyeruput kopi hitam yang hampir mengepul, sambil mendengar percakapan kecil di meja sebelah: “Nggak apa-apa, hujan begini enak buat sendiri.” Saya tertawa sendiri karena itu persis yang saya rasakan: kelegaan untuk melambat.
Dalam momen itu saya sadar satu hal praktis: jangan sepelekan cuaca malam. Saya ingat pernah membaca beberapa catatan perjalanan di wanderingscapes tentang bagaimana hujan bisa mengubah rencana — dan malam ini membuktikannya. Bukan hanya jadwal, tapi mood. Hujan membuat perjalanan menjadi pengalaman sensori; bunyi tetesnya, bau aspal basah, lampu kota yang redup — semuanya memberi cerita.
Menemukan Keheningan di Tengah Kota
Konflik kecil muncul ketika ojek online pertama menolak karena jalan tergenang. Saya sempat panik: koper kecil yang saya bawa basah di bagian bawah, dan baterai ponsel tinggal 20%. Ada bagian di kepala saya yang langsung berpikir tentang rencana cadangan — cari penginapan lain, beli jas hujan plastik, atau tunggu reda. Saya memilih menunggu sambil mengamati. Keputusan itu memberi reward: seorang perempuan tua menawarkan potongan payung untuk dibagi, dan saya ikut menyela obrolan mereka tentang Malioboro tempo dulu. Dialog internal saya berubah dari panik menjadi syukur.
Hasilnya bukan hanya menemukan tempat berteduh. Saya menemukan cerita — tentang penjaga toko batik yang kehilangan keranjang pesanan karena banjir kecil, tentang dua anak yang tetap bermain di genangan sampai basah kuyup, tertawa lepas. Momen-momen itu mengajarkan saya bahwa saat traveling, fleksibilitas bukan sekadar kata kunci, melainkan alat untuk membuka percakapan dan memori yang tak terduga.
Praktis: Tips Traveling Saat Hujan
Setelah pengalaman itu, saya menyusun beberapa aturan lapangan yang sering saya bagi ke teman atau klien yang hendak ke Yogyakarta atau kota hujan lainnya:
– Bawa dry bag kecil untuk dokumen dan perangkat elektronik. Saya pernah kehilangan foto perjalanan karena tas kemas basah — sejak itu dry bag jadi wajib.
– Kemas satu jas hujan ponco: ringan, murah, dan bisa menutupi tas. Ponco lebih fleksibel dibandingkan jaket waterproof saat membawa ransel.
– Pilih penginapan dengan varanda atau lobi yang nyaman; satu malam menunggu reda bisa berubah jadi sesi menulis atau ngobrol berjam-jam.
– Powerbank dan kabel ganda. Saat hujan, delay transportasi bisa panjang. Pastikan ponsel tak kehabisan daya.
– Siapkan rencana B untuk aktivitas outdoor; museum, kafe lokal, atau workshop batik adalah opsi bagus. Saya pernah mengubah rencana keliling candi menjadi kelas singkat pembuatan batik — lebih intim, lebih berkesan.
– Cek radar cuaca lokal dan jam puncak hujan. Seringkali hujan tropis bersifat episodik — tahu pola itu membantu mengatur waktu keluar.
Tip terakhir: biarkan hujan mempengaruhi agenda Anda. Kadang rencana yang batal adalah jalan pintas ke pengalaman yang lebih tulus.
Kesimpulan: Mengapa Malam Itu Bikin Kangen
Hasil dari malam itu sederhana: foto seadanya, baju yang masih sedikit bau aspal, dan sejumlah percakapan ringan yang sampai sekarang saya ingat seperti dialog di film. Tetapi pelajaran yang tertinggal lebih besar. Hujan mengajarkan saya tentang keterbukaan: mau merelakan kontrol, dan menerima jeda sebagai bagian perjalanan. Saya pulang dengan cerita yang selalu saya ceritakan lagi pada teman yang bertanya tentang Yogyakarta.
Jika ditanya kenapa kangen — jawabannya bukan sekadar kota atau makanan. Kangen itu soal momen-momen tak terencana yang membuat kita merasa lebih dekat pada manusia lain dan tempat yang kita kunjungi. Itulah inti traveling yang saya pelajari setelah sepuluh tahun mengemas pengalaman: rencanakan, tapi jangan takut kehilangan rencana. Kadang, biarkan hujan menulis bab terbaik perjalananmu.