Mencari Jejak Air Terjun Tersembunyi di Tengah Hutan
Beberapa perjalanan terasa seperti mencari — bukan menemukan. Aku ingat hari itu jelas: matahari masih malu-malu menembus kanopi, kabut tipis menggantung di antara dahan, dan hanya suara daun yang bergesekan serta napasku yang mengisi hutan. Tujuan sebenarnya sederhana: air terjun kecil yang konon tersembunyi jauh di dalam bukit. Tak ada papan petunjuk, tak ada jalur resmi, hanya cerita dari warga setempat dan insting petualang yang membuatku berangkat.
Mengapa aku tergoda oleh air terjun yang tak bernama?
Ada sesuatu tentang air yang jatuh yang membuatku selalu ingin mendekat. Suara gemericiknya bagai undangan. Bukan karena spektakulernya laju atau ketinggian, melainkan ketenangan yang datang setelah mencapai lokasi. Air terjun kecil tadi menawarkan sudut sunyi untuk berpikir, untuk mendengar kembali detak jantung sendiri tanpa gangguan kebisingan kota. Aku ingin mundur sebentar dari daftar hal yang harus dilakukan — untuk menetap, mendengarkan, dan mengamati.
Waktu aku masih kecil, keluarga sering berkemah. Kami tidak selalu sampai ke tempat populer. Justru, kenangan terbaik datang dari menemukan kolam kecil di ujung jalan setapak yang hanya dapat ditembus setelah merayap melalui semak. Pengalaman itu menanamkan rasa ingin tahu yang sejak itu sulit dimatikan.
Apa yang sebenarnya kucari di jejak itu?
Bukan hanya pemandangan. Bukan hanya foto bagus untuk pamer di media sosial. Aku mencari rasa. Rasa pencapaian setelah berpeluh, rasa hening ketika berdiri di bawah kabut yang diciptakan air jatuh, rasa asing yang berubah menjadi akrab ketika memandang aliran kecil yang mengalir ke sungai. Kadang aku menemukan bunga langka. Kadang juga menemukan bekas campfire orang lain. Selalu ada cerita kecil yang tersisa di sana-sini. Itu yang membuat setiap perjalanan berbeda.
Saat berjalan menyusuri jalan setapak yang nyaris tertutup akar dan lumut, aku belajar membaca tanda-tanda. Arah angin membawa aroma lembab yang semakin kuat. Suara kecil seperti rintik memandu langkah. Jejak binatang dan jejak manusia sebelumnya tersusun acak, namun jika kau teliti, mereka memberi peta tak kasat mata menuju air terjun.
Cerita yang tidak tertulis: kebingungan, tawa, dan keberuntungan
Pada satu titik, aku tersesat. Jalan yang kukira menuju lembah malah membawa ke sebuah ladang jamur liar. Aku tertawa pada diri sendiri karena terlalu percaya insting. Namun justru dari salah jalan itu aku menemukan seorang kakek yang sedang memetik daun rimbun untuk makanannya. Dia menunjuk ke sebuah jalur sempit, menunjukkan arah dengan jari penuh tanah, lalu memberiku setengah botol air dingin. Kadang, perjalanan terbaik adalah yang membawa kita bertemu orang lain.
Tiba di dekat lokasi, hal yang mengejutkan bukanlah gemuruh air yang dahsyat, melainkan bagaimana lanskap berubah: udara menjadi lebih sejuk, lumut menutupi batu seperti permadani, dan cahaya mencipta pola di permukaan air. Aku berdiri lama, membiarkan wajah basah oleh percik. Di sana tidak ada keramaian. Hanya kita — aku, air, dan pohon-pohon yang menjadi saksi.
Bagaimana membagikan jejak ini tanpa merusaknya?
Membagikan rute adalah dilema. Aku ingin teman-teman juga merasakan hal yang sama, namun aku juga takut tempat itu menjadi ramai dan kehilangan keasliannya. Jadi aku menulis dengan hati-hati, membagikan pengalaman tanpa peta koordinat pasti. Kadang aku menyebutkan sumber inspirasi, seperti blog perjalanan yang dulu membakar rasa penjelajahan di dalam diriku, misalnya wanderingscapes, tanpa membeberkan rahasia lokasi.
Prinsipku sederhana: tinggalkan tempat seperti semula atau lebih baik. Jangan mengambil batu. Jangan menulis di batang pohon. Bawa kembali sampah, dan ajak teman yang siap menghargai alam. Bahkan kamera juga bisa menggoda; ambil foto secukupnya, lalu nikmati sisa waktu tanpa layar. Air terjun tersembunyi selamanya lebih indah ketika ia tetap menjadi rahasia antara engkau dan hutan.
Pada akhirnya, mencari jejak air terjun adalah tentang prosesnya: tersesat sedikit, bertemu orang baru, menemukan sudut tenang, dan pulang dengan lebih penuh. Kepulangan selalu manis. Sepotong luka lecet di tangan menjadi bukti bahwa kita telah keluar dari zona nyaman. Kenangan itu menempel, menunggu dilihat lagi di lain hari saat rindu panggil nama hutan.