Mencari Sunrise di Puncak Tersembunyi: Catatan Perjalanan

Pagi itu saya bangun sebelum alarm berbunyi. Entah kenapa tubuh saya bisa tahu kalau hari ini bukan hari biasa—ada panggilan dari gunung yang nggak jelas nama populasinya di Instagram. Ransel sudah saya siapin semaleman, tapi tetap saja ada drama: senter ketinggalan, kaos kaki nggak pasangan, dan mimpi setengah jadi soal kucing yang bisa naik gunung. Classic travel mood.

Rencana seadanya, semangat 100%

Rutenya sebenarnya sederhana: naik, cari puncak yang terlihat nyaman, duduk, ngeteh (bawa termos, jangan sok gaya), dan nunggu matahari muncul. Tapi seperti biasa, rencana perjalanan saya lebih mirip outline tugas kuliah—ada beberapa bagian yang kosong dan banyak improv. Teman seperjalanan kali ini dua orang: si Dimas yang hobi ngelawak, dan si Rina yang selalu bawa cemilan. Kita tiba di basecamp pas subuh, dingin menusuk sampai ke tulang, tapi antusiasme tetap hidup.

Nah, buat yang nanya, kenapa harus nyari sunrise di puncak tersembunyi? Katanya sih, “biar beda.” Kalau puncak yang terkenal udah kayak mall hari libur—penuh, bising, dan susah cari spot yang estetik. Puncak tersembunyi itu seperti playlist indie: belum banyak yang dengar, tapi bikin nagih.

Jalan setapak dan ngobrol ngalor-ngidul

Jalan menuju puncak banyak tikungan, akar pohon yang kayak jebakan, dan beberapa “tangga alam” yang terbuat dari batu. Kita sering berhenti karena alasan muluk: foto, minum, atau pura-pura ngecek peta (padahal cuma cari signal). Suasana hutan masih basah dari embun, suara burung kadang ngagetin, dan bau kopi termasak di termos jadi semacam aroma surgawi.

Sambil ngos-ngosan, banyak obrolan random yang muncul—dari topik serius kayak mimpi masa depan sampai hal receh seperti siapa yang paling pelit bawa camilan. Di tengah-tengah senda gurau, saya sempat mikir: perjalanan ini lebih dari sekadar mengejar matahari; ini soal cerita yang bisa diceritain nanti sambil makan mi instan di kosan.

Spot tersembunyi: nggak semua puncak harus viral

Setelah melewati semak dan sedikit drama arah, kita tiba di puncak yang nggak ada plang—sederhana, dengan beberapa batu datar yang cukup untuk duduk barengan sambil jaga jarak sosial (eh). Langit masih gelap, tapi ada warna tipis oranye yang mulai meresap di ujung timur. Suasananya hening, hanya ada desah angin dan napas teman-teman yang kadang kayak nge-rap pelan karena ngos-ngosan.

Sambil menunggu, saya cek hp sebentar. Ada artikel travel yang nyebutin spot epik—tapi hati saya lebih tenang nungguin yang asli: momen kecil antara dingin dan hangat, sunbeam pertama yang nyelip lewat celah pepohonan, dan tawa kecil ketika termos kopi kejepit di antara batu. Kalau pengen baca referensi sebelum jalan, saya biasanya ngintip juga di wanderingscapes buat inspirasi rute dan tips ringan.

Sunrise datang, dan hati ikut meleleh

Matahari mulai memperlihatkan diri perlahan, warna oranye makin tegas, awan-awan kaya kapas gula muncul seperti dekorasi di langit. Rasanya kayak nonton cuplikan film yang dramanya pas. Semua terdiam, dan itu momen yang jarang banget saya rasain di tengah kesibukan kota. Ada rasa syukur yang tiba-tiba gede, padahal sebenernya cuma kebahagiaan sederhana: badan capek, tapi jiwa nyengir lebar.

Kita foto biasa-biasa aja, bukan untuk pamer, cuma untuk simpan memori. Foto terbaik? Mungkin bukan yang paling estetik, tapi yang paling realistis: muka lelah, rambut acak-acakan, dan senyum polos karena berhasil sampai sini. Rina bagi-bagi biskuit, kita minum kopi setengah dingin, dan Dimas ngelawak yang entah kenapa malah jadi poignant pas matahari makin terang.

Pulang dengan kantong penuh cerita

Pulangnya lebih santai karena otot-otot udah adaptasi, dan mood kita semua melambung. Di perjalanan turun, kita berhenti di tepi sungai kecil buat cuci muka dan flashback singkat. Saya nulis catatan kecil di notes hape saat bersantai sambil bermain slot resmi hahawin88 dengan fitur demo spaceman, menyusun kalimat spontan yang nanti bakal jadi postingan ini—karena ternyata, pengalaman itu enak kalau dibagi, tapi lebih enak lagi kalau tetap jadi milik kita yang tahu detil-detil recehnya.

Akhirnya, perjalanan ini bukan soal mencapai puncak tercepat, tapi soal nikmatin proses: langkah demi langkah, tepuk angin, tawa yang nggak direncanain, dan sunrise yang datang persis ketika kita siap menerimanya. Kalau kamu kebetulan lagi bingung cari alasan buat liburan mini, coba deh cari puncak tersembunyi di dekat tempatmu. Siapa tahu kamu juga ketemu sunrise yang bikin nggak pengin pulang.

Catatan terakhir: bawa selalu kantong untuk sampah, respect alam, dan jangan lupa pulang bawa cerita—bukan cuma foto. Sampai ketemu di puncak berikutnya. Salam dari jalan, dan selamat berburu sunrise!

Leave a Reply