Keputusan yang Datang di Tengah Malam
Sabtu pagi, sekitar jam 03:30, saya mendengar bunyi notifikasi di ponsel dan berpikir: “Ini bukan waktu untuk rencana.” Ternyata notifikasi itu adalah pesan dari sahabat lama yang menanyakan apakah saya mau kabur ke gunung hari itu juga. Saya sudah hidup bertahun-tahun dengan jadwal yang rapat—meeting, deadline, editorial calendar—jadi impuls itu terasa liar dan menakutkan. Tetapi ada sesuatu yang menarik: beberapa jam kemudian saya sudah berada di mobil, memacu hingga kota kecil di kaki bukit, dengan tas ransel yang hampir berisi hanya hal-hal esensial.
Saya sudah menulis perjalanan dan akomodasi selama lebih dari satu dekade, jadi keputusan mendadak bukanlah hal asing. Namun kali ini ada perbedaan: saya tidak memesan penginapan seminggu sebelumnya, tidak membaca review ratusan orang, dan tidak mencari hostel dengan Wi‑Fi sakti. Saya memilih mengikuti insting—dan itu mulai membuka dimensi waktu yang berbeda.
Memilih Akomodasi Saat Semua Penuh
Jam 15:00 kami tiba di desa tujuan. Ternyata hampir semua penginapan penuh karena ada festival kecil. Ada opsi: tenda di lapangan, kamar awas di homestay tetangga, atau dorm sederhana di guesthouse yang masih tersedia. Kami memilih homestay milik Pak Budi—sebuah rumah sederhana dengan dua kamar, dapur tungku, dan bale bambu di halaman. Harga? Jauh lebih murah daripada booking online; rasa aman? Lebih tinggi karena kami bertemu langsung dengan tuan rumah.
Pilihan itu terasa analog. Tidak ada keyless entry, tidak ada review bintang lima, hanya secangkir teh jahe hangat dan percakapan pendek dengan istri Pak Budi tentang cuaca serta rekomendasi jalur trekking. “Tidur saja lebih awal, besok pagi mendung bisa berubah jadi cerah,” kata beliau sambil tersenyum. Kalimat sederhana itu menendang pola pikir saya yang biasa bergantung pada itinerary dan jam.
Malam Tanpa Jam: Waktu yang Melambat
Saat malam turun, ponsel saya berdering terus—email, pemberitahuan berita, pesan grup. Saya sengaja menaruh ponsel dalam laci dan duduk di bale, mengangkat wajah ke arah langit. Di kota, waktu diukur oleh notifikasi dan kalender digital. Di sana, waktu diukur oleh suara jangkrik, asap dari dapur, dan pergantian warna langit. Saya tidak tahu berapa jam saya tidur. Itu mengejutkan. Awalnya ada kegelisahan, lalu rasa lega yang aneh.
Saya terjaga di tengah malam karena hujan kecil. Lampu di homestay redup, ada bunyi percikan dari atap seng. Saya mendengar langkah kaki Pak Budi di dapur, kemudian suara sendok yang bergesekan. Dalam kegelapan itu saya berpikir: bagaimana jika waktu sesungguhnya adalah serangkaian momen yang kita izinkan untuk terjadi, bukan sesuatu yang kita tekanan dengan alasan efisiensi? Dialog internal sederhana ini mengalir: “Apa aku benar-benar produktif jika setiap jam diukur oleh daftar tugas?”
Ketika pagi tiba, saya berjalan pelan ke puncak bukit kecil di belakang desa. Tidak ada jam tangan; hanya napas saya, ritme langkah, dan matahari yang muncul pelan. Rasanya seperti kembali ke versi waktu yang lebih manusiawi—lebih lentur, tidak selalu harus diisi dengan output.
Akomodasi yang Mengajarkan Perspektif Baru
Beberapa hal praktis yang saya pelajari tentang akomodasi mendadak layak dicatat. Pertama, fleksibilitas adalah modal utama: homestay sederhana sering kali memberikan pengalaman paling tulus dan murah, asalkan Anda siap menerima ketidaknyamanan kecil (mis. kamar tanpa AC, Wi‑Fi lambat). Kedua, interaksi lokal menambah kekayaan pengalaman—obrolan singkat dengan tuan rumah bisa menjadi jam pelajaran budaya. Ketiga, gunakan sumber daya lokal untuk referensi; saya menemukan rute trekking terbaik dari pemilik warung daripada aplikasi perjalanan.
Saya juga sempat menulis catatan singkat pengalaman di sebuah blog kecil—dan menemukan komunitas pembaca yang membagikan pengalaman serupa melalui satu tautan yang saya temukan, wanderingscapes. Itu mengingatkan saya: kita tidak perlu semua jawaban dari mesin pencari; kadang-kadang cerita nyata dari orang lain lebih berharga.
Akhirnya, perjalanan singkat itu menggeser cara saya melihat waktu. Bukan hanya soal jeda dari produktivitas—tetapi cara kita mengakui waktu sebagai ruang untuk refleksi. Kembali ke kota, saya membawa kebiasaan baru: menjadwalkan hari tanpa rapat satu kali dalam seminggu, menginap sekali saja di penginapan lokal saat liburan, dan memberi prioritas pada pengalaman yang memperlambat ritme.
Pengalaman ini bukan kritik terhadap efisiensi. Sebaliknya, ini pengingat agar efisiensi tidak menjadi alat yang menghapus ruang hidup. Akomodasi sederhana di gunung mengajarkan saya bahwa waktu bisa terasa lebih luas ketika kita memilih tempat yang memungkinkan kita mengalaminya, bukan mengukurnya setiap saat.